FAAM, MAKASSAR — Kemunculan Developer pengembang perumahan Nakal Memunculkan Kegaduhan di kalangan masyarakat,hal itu membuat ketua LSM FAAM menindak lanjuti laporan masyarakat.iya kemudian menindak lanjuti dan menelusuri apa yang sebenarnya terjadi antara pemerintah kota Makassar dalam hal ini dinas penataan ruang,dinas perumahan,serta dinas-dinas terkait.
Dalam penelusurannya Rahmayadi mendapatkan adanya Dugaan persekongkolan antara pihak dinas penataan ruang kota Makassar,hingga lahirnya izin IMB,PBG yang di terbitkan DPM PTSP kota Makassar.iya menyebutkan sesuai surat yang di antarkan sendiri ke dinas terkait,tak ada jawaban yang mengarah klarifikasi izin pembangunan perumahan di wilayah kelurahan Barombong kecamatan Tamalate kota Makassar.pasalanya sudah dua kali menyurat bahkan sempat bertemu dengan sekertaris dinas Tata ruang namun tidak adanya titik terang dalam kasus ini.Kasi saya waktu ya, untuk mengetahui soal izin pembangunan perumahan di wilayah kelurahan Barombong.katanya
Di konfirmasi melalui via wabsab ke pada media kepala dinas penataan ruang kota Makassar fahyudi,mengatakan silahkan ke DPM PTSP,”jika kemudian Tidak adanya izin bagi Depelover pengembang perumahan yang ada di kelurahan Barombong saya akan tindaki.ungkpanya
Muncul suatu pertanyaan, berarti selama ini pihak developer pengembang perumahan mempunyai izin IMB, PBG tanpa melalui proses Analisis dan pengkajian lingkungan oleh dinas penataan ruang.kenapa bisa kepala dinas penataan ruang kota Makassar sampai mengatakan, pertanyakan izin IMB, PBG ke DPM PTSP kota Makassar kepada awak media.
Dapat di simpulkan bahwa adanya dugaan kerjasama yang sangat jelas disini antara pihak pengembang perumahan dengan dinas penataan ruang kota Makassar.
Lain halnya dengan dinas perumahan dan pemukiman kota Makassar di konfirmasi lewat via wabsab, iya mengatakan bahwa kewenangan itu ada pada dinas penataan ruang.
Sebaliknya dinas perhubungan kota Makassar dishub setelah di konfirmasi oleh awak media,menyarangkan agar mempertanyakan hal ini ke dinas penataan ruang kota Makassar.
Ketua LSM FAAM Rahmayadi menyimpulkan bahwa kasus ini harus di kawal dan akan melaporkan Ke kementerian perumahan dan kawasan pemukiman,ini tidak bisa di biarkan saya akan menindak lanjuti kasus ini.katanya
Rahmayadi juga bisa menambahkan
mengingatkan, konsideran UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana mandat UUD RI 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. AMDAL
merupakan salah satu instrumen untuk mengontrol pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat di sekitarnya.
Sebagai instrumen pengendalian, Rahmayadi ketua LSM FAAM mengatakan, salah satu proses yang harus dilalui dalam mekanisme AMDAL yakni melakukan konsultasi publik terhadap rencana pembangunan yang akan dilakukan.
Jika masyarakat keberatan dengan pembangunan tersebut, dan berdampak buruk bagi lingkungan, dapat menjadi pertimbangan bagi komisi penilai AMDAL untuk tidak menerbitkan rekomendasi. Tapi praktiknya, hampir tidak ada AMDAL yang tidak diloloskan oleh komisi penilai amdal sekali pun ada penolakan masyarakat dan dampak buruk terhadap lingkungan.
“RDTR itu hanya mengatur zonasi dan peruntukan kawasan. AMDAL sifatnya spesifik misalnya pembangunan proyek tertentu dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat,” urai Rahmayadi.
Menurut Rahmayadi, AMDAL merupakan dokumen penting bagi sebuah proyek pembangunan. Jika pemohon AMDAL mengantongi rekomendasi dari komisi penilai AMDAL, langkah selanjutnya adalah menindaklanjutinya kepada kepala daerah setempat untuk kemudian diterbitkan izin lingkungan. “Tanpa AMDAL, kerusakan lingkungan hidup akan bertambah masif,” tegasnya.
Menikmati suasana lingkungan yang layak, teratur, baik, aman dan tenang merupakan hak setiap orang. Dari aspek legalitas-formal hal tersebut merupakan amanat Pasal 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman serta Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada sisi yang lain, setiap orang/badan yang berkepentingan juga diberi wewenang membangun rumah/perumahan di lingkungan tertentu sekalipun bisa berdampak pada masalah kenyamanan/ketenangan lingkungan, sesuai syarat-syarat yang ditentukan, demikian ditegaskan Pasal 6 ayat (1) dan 7 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992.
Kedua kepentingan diatas memunculkan satu kekhawatiran: friksi atau pertentangan antara hak untuk hidup di lingkungan yang aman, tenteram dan aman di satu pihak, dengan hak untuk mendirikan dan membangun rumah/perumahan di pihak lain, yang menimbulkan ekses kebisingan/kegaduhan. Memang, Pasal 29 dan Pasal 38 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Kita ketahui bersama bahwa salah satu syarat sebelum dimulainya pekerjaan pembangunan adalah izin gangguan (hinder ordonanntie) sesuai peraturan Staatsblad 1926 No. 226. Inilah dasar hukum kewenangan pemerintah daerah setempat memberikan izin gangguan bagi pihak-pihak yang akan melakukan usaha dan pekerjaan,
demikian intisari Pasal 1 ayat (3). Apakah pemerintah dapat menolak pengajuan izin tersebut? Pasal 6 ayat (1) memberi wewenang pemerintah untuk menolak pengajuan dimaksud. Apakah penerbitan izin gangguan melibatkan persetujuan masyarakat lingkungan? Adalah hak masyarakat untuk mengetahui, menilai bahkan menyatakan keberatan atas diterbitkannya izin gangguan, demikian ditegaskan Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4).
Salah satu syarat untuk bisa mendapatkan izin gangguan adalah adanya surat persetujuan tetangga/masyarakat yang berdekatan, dan diketahui oleh RT/RW, berikut bagan alir proses produksi dilengkapi dengan daftar buku, bagan penolong dan bagan alir, pengolahan limbah. Terlihat bahwa informasi diperlukannya persetujuan ini konsisten dengan instruksi UU Gangguan
Namun fakta empiris sering menunjukkan bahwa masyarakat di lingkungan proyek tidak mengetahui secara resmi peruntukkan proyek sebelum berjalan, apalagi haknya dalam memberikan persetujuan/pendapat. Di sini menunjukkan bahwa sosialisasi dari RT/RW bersama wakil pelaksana kontraktor dengan masyarakat mengenai peruntukkan proyek serta syarat adanya persetujuan dari masyarakat tersebut tidak optimal atau bahkan tidak dilaksanakan. tutup Rahmayadi.” (Tim)