SURABAYA, faamnews.com – Dalam ruang lingkup bisnis yang semakin padat dan meningkat di era industrial, memaksa masing-masing perusahaan untuk bersaing mempertahankan perusahaannya. Namun perlu disadari bahwa di era revolusi industry 5.0 yang tidak bisa mengikuti perkembangan bisnis, maka akan terancam untuk mengalami kerugian dan berujung mengalami pailit.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, dikemukakan bahwa: _“Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu”._
Badan usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomian mempunyai bentuk hukum tertentu, seperti Usaha Dagang (UD), Firma (Fa), Persekutuan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero) dan Koperasi. Hal ini dapat diketahui melalui akta pendirian perusahaan yang dibuat di muka notaris, kecuali koperasi yang akta pendiriannya dibuat oleh para pendiri dan disahkan oleh pejabat koperasi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), _“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan Persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”_. Mayoritas permasalahan kepailitan muncul pada Perseroan Terbatas (PT), sehingga dalam proses pailit harus melibatkan Direksi dan Dewan Komisaris sebagai bentuk tanggung jawab pelaksana jalannya Perseroan.
Hadirnya kepailitan pada perusahaan mencerminkan bahwa adanya tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang tinggi, sehingga ketidakmampuan tersebut dapat mengancam fungsi manajemen pada perusahaan. Sehingga Dewan Komisaris dan Komite Audit sebagai internal monitoring mechanism haruslah memiliki peran untuk mendeteksi potensi agar tidak terjadi kepailitan. Hal ini juga dibutuhkan peran external monitoring yang dilakukan oleh auditor independen, yakni Kantor Akuntan Publik (KAP), sehingga Auditor dapat memberikan manfaat bagi para pengambil keputusan suatu perusahaan terkait kualitas informasi laporan keuangan perusahaan. Dengan demikian peran Auditor dapat mencegah terjadinya kepailitan pada perusahaan.
Lalu bagaimana peran Auditor apabila perusahaan terancam untuk pailit? Hadirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai langkah untuk mencegah pailit dalam eksistensi perusahaan, lalu bagaimana prosedur pengajuan PKPU dalam perusahaan yang sedang dalam keadaan insolven dan diambang keadaan mengalami pailit?
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu mekanisme yang dapat dipergunakan oleh Debitur untuk melakukan negosiasi untuk membayar dan/atau melunasi utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dengan menangguhkan pembayaran utang sementara waktu dengan persetujuan dari para Kreditur dan Pengadilan, sedangkan Kepailitan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU), yaitu _“sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”_.
Tujuan pengajuan PKPU menurut UU Kepailitan dan PKPU ialah dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang dimana termasuk restrukturisasi di dalamnya. Sehingga tujuan dari PKPU sendiri yakni untuk memungkinkan seorang Debitur meneruskan usahanya meskipun ada kesulitan pembayaran untuk menghindari kepailitan.
Dalam hal ini, PKPU merupakan alat yang penting dalam mencegah terjadinya pailit perusahaan akibat hutang piutang. Selain itu, PKPU juga memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk merevitalisasi bisnis mereka, melindungi kreditur dan mempertahankan pekerjaan. Syarat utama untuk mengajukan Permohonan PKPU yakni diajukan saat sebelum perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan. Dengan demikian peran Auditor sangat penting untuk menyusun laporan audit hukum yang komprehensif terkait utang piutang perusahaan serta memitigasi risiko bagi Debitur dan Kreditur.
Faktor-faktor yang mendasari PKPU untuk mencegah kepailitan bergantung pada isi perjanjian para pihak yang berisi penjadwalan pelunasan utang, persyaratan kembali perjanjian, pengurangan atau pembebasan jumlah utang.
Dengan demikian menurut UU Kepailitan dan PKPU, diatur secara khusus mengenai prosedur pengajuan PKPU yang diatur dalam Pasal 224 UU Kepailitan dan PKPU, yakni sebagai berikut:
1. Permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan Niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya;
2. Dalam hal pemohon adalah debitur, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya;
3. Dalam hal pemohon adalah kreditur, maka Pengadilan wajib memanggil debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang;
4. Pada sidang debitur mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian;
5. Pada surat permohonan dapat dilampirkan rencana perdamaian.
PKPU merupakan tindakan yang penting untuk mencegah terjadinya kepailitan yang disebabkan karena keuangan perusahaan. Selain itu, juga dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk merevitalisasi bisnis mereka, melindungi hak Kreditur dan mempertahankan perusahaan. Dengan adanya PKPU, memberikan keuntungan kepada Debitur bahwa dengan adanya PKPU tersebut membuka kesempatan yang besar bagi Debitur untuk melunasi utang-utangnya sehingga dapat mencegah perusahaan dinyatakan pailit.
Redaktur Pelaksana : Zain