Faamnews.com – Nganjuk, 24 Mei 2025 – Koperasi Merah Putih (KMP) yang digagas sebagai solusi kemandirian ekonomi desa melalui prinsip gotong royong dan pemberdayaan komunitas, masih menghadapi tantangan besar dalam implementasinya di Kabupaten Nganjuk. Di atas kertas, koperasi ini menjanjikan sistem ekonomi alternatif yang demokratis dan partisipatif. Namun, realita di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan mencolok antara regulasi dan praktik.

Secara normatif, pembentukan KMP mengharuskan adanya musyawarah desa, penyusunan Anggaran Dasar oleh anggota, dan pemilihan pengurus secara demokratis. Namun, di sejumlah desa di Nganjuk, proses tersebut cenderung hanya menjadi formalitas. Musyawarah sering kali hanya melibatkan segelintir orang, dan pengurus koperasi telah ditentukan sebelum rapat dimulai. “Di desa kami, pengurus koperasi sudah ditentukan sebelum rapat dimulai. Warga hanya datang untuk tanda tangan daftar hadir,” ungkap seorang warga Kecamatan Baron yang enggan disebutkan namanya.
Situasi ini diperparah dengan posisi Kepala Desa yang secara ex-officio menjadi Ketua Pengawas koperasi. Alih-alih menjadi pengawas independen, posisi ini kerap memunculkan potensi konflik kepentingan karena keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan koperasi.
Kondisi tersebut diamini oleh Achmad Ulinuha, Ketua LSM FAAM DPC Nganjuk, yang menyoroti bahwa pembentukan dan pengelolaan koperasi di Nganjuk cenderung sarat praktik nepotisme dan kompromi politik. Musyawarah desa khusus (musdesus)Pembentukan pengurus KMP, yang seharusnya menjadi forum demokratis, justru berubah menjadi alat formalitas untuk mengesahkan susunan pengurus yang telah disusun tertutup.

“Kita melihat pola lama kembali terulang. Koperasi justru terancam menjadi proyek politik semata, bukan alat pemberdayaan ekonomi rakyat,” tegasnya. Menurutnya, ada tiga aspek utama yang harus menjadi perhatian serius dalam pengelolaan koperasi: rekam jejak kepemimpinan, kualitas manajerial, dan integritas moral.
1. Rekam Jejak: Hindari Balas Budi Politik
Pemilihan pengurus koperasi harus didasarkan pada kompetensi dan pengalaman, bukan kedekatan dengan elite lokal. Sayangnya, di beberapa desa, posisi strategis dalam koperasi justru diberikan kepada mereka yang berjasa dalam kontestasi politik atau memiliki afiliasi kuat dengan kepala desa.
2. Kualitas Manajerial: Lebih dari Sekadar Simbolik
Pengurus koperasi seharusnya memahami dinamika ekonomi lokal dan mampu merumuskan strategi pemberdayaan ekonomi yang relevan. Namun, jabatan direksi seringkali hanya menjadi simbol tanpa kontribusi strategis yang nyata.
3. Integritas: Transparansi dan Akuntabilitas
Koperasi yang sehat hanya bisa terwujud jika ada sistem pengawasan internal yang kuat dan pelaporan keuangan yang terbuka bagi anggota. Tanpa itu, KMP berisiko menjadi sarana pencitraan dan penyalahgunaan dana.
Koperasi Merah Putih adalah peluang besar untuk membuktikan bahwa ekonomi rakyat bisa dikelola dengan baik dan bermartabat. Namun jika dikelola dengan pendekatan kekuasaan, bukan profesionalisme, KMP hanya akan menjadi proyek musiman yang gagal menjawab kebutuhan masyarakat. Dan lebih parah lagi, dapat merusak kepercayaan publik terhadap konsep koperasi itu sendiri.
Masyarakat Nganjuk berhak atas koperasi yang transparan, adil, dan benar-benar berpihak pada rakyat. Sudah saatnya elemen masyarakat sipil, akademisi, dan media lokal berperan aktif dalam mengawasi dan mengawal koperasi ini agar tetap berada di jalur yang benar.