Mengungkap Fakta, Mengawal Aspirasi
RedaksiHubungi Kami

Jalan Baru Cepat Rusak di Nganjuk — Standar Teknis Diabaikan atau Pengawasan yang Lalai?

NGANJUK,Faamnews.comKualitas jalan adalah cermin paling sederhana untuk menilai apakah anggaran publik dikelola dengan benar atau tidak. Ketika sebuah jalan baru hanya bertahan dua sampai tiga tahun—bahkan ada yang rusak sebelum benar-benar digunakan—maka publik wajar bertanya: apakah persoalannya pada kualitas pekerjaan, lemahnya pengawasan, atau keduanya?

Faktanya, gejala tersebut muncul di berbagai titik di Kabupaten Nganjuk. Ruas-ruas yang baru diperbaiki kembali berlubang. Aspal mengelupas. Struktur jalan bergelombang. Ini bukan fenomena baru, tetapi semakin mengkhawatirkan karena terjadi berulang dan meluas.

Salah satu jalan yang baru di bangun th 2025 tapi kondisi aspal sudah mengelupas

Padahal secara regulatif, aturan pemerintah sangat tegas. Peraturan Menteri PUPR memerintahkan agar setiap pembangunan jalan mengikuti standar teknis, mulai dari design life, ketebalan lapisan, jenis bahan, hingga metode pelaksanaan. Design life bukan angka formalitas dalam dokumen; itu adalah komitmen teknis agar jalan rakyat tidak menjadi proyek musiman—dibangun cepat, rusak lebih cepat.

Lebih tegas lagi, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 menentukan bahwa umur rencana jalan daerah minimal 10 tahun. Bila jalan tak mampu mencapai separuh dari standar tersebut, maka itu bukan persoalan alam atau cuaca; itu persoalan kualitas.

Kerusakan prematur adalah indikasi adanya tahapan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jalan tidak rusak karena hujan—jalan rusak karena dibangun tanpa ketahanan yang memadai. Cuaca hanya mempercepat; akar masalahnya tetap berada pada kualitas konstruksi.

Hasil penelusuran berbagai aktivis dan wartawan lapangan mengarah pada sejumlah temuan serius. Di beberapa titik, ketebalan lapisan aspal yang terpasang tidak sesuai RAB. Pekerja lapangan bahkan mengakui material yang dikirim sering tidak sesuai volume pada dokumen pengiriman. Ini bukan sekadar kesalahan teknis; ini indikasi buruknya kontrol material yang menjadi kunci kualitas pekerjaan.

Selain itu, struktur agregat dasar di beberapa ruas tampak banyak bercampur lumpur, menurunkan nilai CBR yang justru merupakan parameter utama daya dukung jalan. Jika pondasinya sudah tidak benar, bagaimana jalan bisa bertahan lama?

Masalah semakin terasa ketika pengawasan nyaris tak terlihat. Pengawas dari dinas jarang hadir di lapangan. Mandor dan operator mengaku hanya menerima instruksi dari penyedia jasa tanpa koreksi dari tim pengawas resmi. Pada akhirnya, pekerjaan berjalan tanpa kontrol yang memadai. Dan dalam ruang kosong seperti itu, deviasi teknis menjadi sangat mudah terjadi.

Tidak berhenti di sana, beberapa pekerjaan justru dipaksakan saat cuaca tidak mendukung; ada yang melakukan pengaspalan saat hujan rintik. Praktik ini jelas melanggar standar konstruksi, namun tetap dilakukan demi mengejar serapan anggaran. Hasilnya sudah bisa ditebak: umur jalan pendek dan kerusakan cepat muncul.

Sebagian besar peningkatan jalan desa yang menggunakan APBD juga tidak dilengkapi drainase yang memadai. Air genang adalah musuh terbesar perkerasan jalan. Tanpa manajemen air, kerusakan hanyalah soal waktu.

Dari rangkaian persoalan tersebut, dua pertanyaan krusial muncul dengan sendirinya:

Pertama, apakah penyedia jasa benar-benar bekerja sesuai standar teknis yang diwajibkan?
Kedua, apakah pengawas dari konsultan maupun dinas menjalankan mandatnya dengan profesional atau justru membiarkan penyimpangan terjadi?

Publik Nganjuk berhak mendapatkan infrastruktur yang sesuai aturan, kuat, dan aman. Jalan yang dibangun menggunakan uang rakyat tidak boleh menjadi proyek yang “asal jadi”. Ketika anggaran miliaran dikeluarkan, maka kualitas adalah perintah, bukan pilihan.

Transparansi pekerjaan, audit menyeluruh terhadap mutu, dan evaluasi terhadap penyedia jasa serta pengawas harus dilakukan. Jalan yang dirancang untuk bertahan satu dekade tidak boleh rusak hanya dalam dua musim hujan. Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka kerusakan jalan bukan lagi soal teknis, tetapi cermin dari tata kelola anggaran yang bermasalah.

Jika regulasi sudah begitu jelas namun praktik lapangan justru jauh dari standar, maka pertanyaan publik semakin relevan:

Yang bermasalah jalannya, atau cara membangunnya?

Opini Oleh Achmad Ulinuha Ketua DPC LSM FAAM Nganjuk

Isi artikel bukan tanggung jawab redaksi tapi pada penulis artikel

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *