Oleh: Achmad Ulinuha, Ketua DPC LSM Forum Aspirasi & Advokasi Masyarakat (FAAM) Kabupaten Nganjuk
Faamnews.com- Perkembangan Kabupaten Nganjuk dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perubahan arah yang cukup signifikan. Dari yang dulu dikenal sebagai wilayah agraris dengan mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, kini Nganjuk mulai bertransformasi menjadi daerah dengan geliat industri yang terus tumbuh.
Masuknya berbagai perusahaan baru di Kabupaten Nganjuk membawa angin segar bagi perekonomian daerah. Namun, di balik potensi besar tersebut, ada tanggung jawab sosial yang tak boleh diabaikan — yakni bagaimana perusahaan-perusahaan itu berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
Sayangnya, hingga saat ini pengelolaan CSR di Kabupaten Nganjuk, masih berjalan tanpa sistem yang transparan dan tanpa regulasi yang kuat. Akibatnya, tak jarang muncul persoalan tentang siapa penerima manfaat CSR, bagaimana mekanisme penyalurannya, dan apakah benar dana CSR itu sampai ke masyarakat yang membutuhkan.
Kasus dugaan penyalahgunaan dana kerja sama antara PDAM dan PT Danone di Jawa Barat beberapa waktu lalu menjadi pelajaran penting. Walau dana tersebut bukan bagian dari program CSR resmi, kejadian itu menggambarkan betapa rentannya bantuan perusahaan diselewengkan ketika tidak ada transparansi dan pengawasan publik yang jelas.
Kita tidak ingin hal serupa terjadi di Nganjuk. Apalagi, di tengah peralihan menuju daerah industri, potensi dana CSR dari perusahaan-perusahaan baru sangat besar. Tanpa aturan yang jelas, dana yang seharusnya menjadi alat pemerataan kesejahteraan bisa berubah menjadi alat pencitraan politik dan celah korupsi.
Tujuan utama CSR sangat jelas: membantu masyarakat sekitar agar turut merasakan manfaat keberadaan perusahaan. Namun dalam praktiknya, istilah CSR sering kali disalahartikan atau bahkan disalahgunakan. Ada bantuan yang diklaim sebagai CSR, tetapi tidak melalui mekanisme transparan dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Dana CSR bukan milik pribadi pejabat, lembaga, atau kelompok tertentu. CSR adalah hak sosial masyarakat. Karena itu, masyarakat berhak tahu berapa dana CSR yang disalurkan, siapa penerimanya, dan untuk kegiatan apa.
Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya Kabupaten Nganjuk memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang CSR. Regulasi ini bukan hanya untuk mengatur perusahaan, tetapi juga untuk memastikan pemerintah daerah memiliki mekanisme pengawasan dan pelaporan yang terbuka.
Melalui Perda CSR, setiap perusahaan wajib melaporkan besaran dan bentuk tanggung jawab sosialnya secara berkala. Pemerintah daerah bisa menampung dan mengarahkan program CSR agar sejalan dengan prioritas pembangunan daerah, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan fasilitas publik, dan pemberdayaan masyarakat.
Lebih dari itu, Perda CSR akan melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan bantuan yang mengatasnamakan CSR. Dengan dasar hukum yang kuat, setiap rupiah dana CSR bisa dipertanggungjawabkan dan manfaatnya benar-benar dirasakan rakyat.
Kabupaten Nganjuk sedang berada di titik penting perubahan ekonomi. Transformasi menuju daerah industri memang membawa peluang, tetapi juga risiko jika tidak diimbangi dengan tata kelola yang transparan.
Karena itu, pembentukan Perda CSR bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan langkah strategis untuk memastikan keadilan sosial berjalan di tengah arus investasi. CSR harus kembali pada hakikatnya: menjadi wujud kepedulian perusahaan terhadap masyarakat, bukan menjadi alat kekuasaan atau kepentingan pribadi.
Sudah saatnya pemerintah daerah, DPRD, dan seluruh elemen masyarakat Nganjuk bersinergi untuk mewujudkan pengelolaan CSR yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada rakyat.(Red)
